Kemuliaan Tuhan

KEMULIAAN TUHAN






Bapak, ibu, saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

Selamat Pagi, Selamat Tahun Baru,

    Saya harap Bapak Ibu Saudara-saudara sekalian dipenuhi dengan sukacita dan kemurahan Allah dalam menjalani/menapaki hari-hari di tahun yang baru, tahun 2017.  Hari minggu ini dalam tahun gerejani disebut dengan hari raya Epifani. Berdasarkan asal katanya, epifani berasal dari bahasa Yunani “teofani” yang artinya penampakan Tuhan Yesus. Penampakan yang dimaksud disini adalah peristiwa dimana Allah, untuk pertamakalinya, menyatakan kemuliaanNya dalam diri Yesus secara umum atau di depan publik atau di depan khalayak ramai. Allah Bapa dengan tegas menyatakan di hadapan umum bahwa Yesus adalah Anak Allah, Putra Allah yang Kudus dan mulia, Allah yang berinkarnasi. 


      Kapankah peristiwa Epifani ini terjadi? Dalam tradisi gereja barat, epifani menunjuk pada kisah orang-orang Majus dari Timur yang mengunjungi Yesus yang baru saja lahir. Sementara dalam tradisi gereja timur, epifani menunjuk pada pembaptisan Yesus Kristus oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Nas yang kita renungkan pada hari ini, seiring dengan tradisi gereja timur yang memaknai epifani berlandaskan pada peristiwa baptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis. Bagaimanakah peristiwa baptisan Yesus ini mengungkapkan kemuliaan Allah?


Nas kita mengawali kisah ini dengan inisiatif Yesus yang dengan sengaja datang dari Galilea ke sungai Yordan, dengan satu tujuan yaitu agar dapat dibaptis oleh Yohanes. Di ay.13 tertulis: “Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya.” Namun Yohanes menolak membaptis Yesus. Yohanes yang sangat bersemangat meminta agar semua orang mengaku dosa dan memberi dirinya dibaptis olehnya, sama sekali tidak mau membaptis Tuhan Yesus. Dalam ay.14 tertulis: “Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: Akulah yang perlu dibaptis olehMu, dan Engkau yang datang kepadaku?” 

Mari kita mencermati sosok Yohanes yang juga adalah figur penting dalam baptisan Yesus ini. Dalam jawaban Yohanes ini tercermin kerendahan hati Yohanes. Penolakannya adalah pernyataannya bahwa Yesus melebihi dirinya, dan oleh karenanya Yohanes merasa tidak layak untuk membaptisnya. Yesus yang agung dan suci bagaimana mungkin dibaptis olehku yang juga berdosa dan cemar? Yesus yang penuh kuasa, sanggup melakukan apapun, bagaimana bisa dibaptis olehku yang lemah dan tidak berdaya? Saya bayangkan Yohanes bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini di dalam hatinya.


Bila kita cermati posisi Yohanes pada saat itu sebenarnya dia punya banyak alasan untuk tidak rendah hati. Yohanes punya segudang prestasi yang bisa saja membuatnya merasa lebih, atau paling tidak, setara dengan Allah. Yohanes punya daftar panjang yang membanggakan tentang dirinya. Dia seorang nabi besar. Pemimpin besar. Malah sebagian orang merasa dialah Mesias yang sudah lama dinantikan itu. Dia disegani, ditakuti, didengarkan, dipercayai. Dia punya banyak pengikut atau pendukung yang tentunya menyanjung dan memujinya. Dilihat  dari hubungan kekeluargaan dan umur, Yohanes masih lebih tua beberapa bulan dari Yesus, masih lebih senior.

Tetapi disini kita melihat Yohanes sama sekali tidak menempatkan dirinya dalam posisi demikian, tetapi dengan hati tulus mengakui kelebihan, kemampuan, keberadaan Yesus. Ketulusan kerendahan hati Yohanes tercermin dari kesediaannya membaptis Yesus yang dilandasi sama sekali bukan karena merasa lebih hebat dan lebih baik tetapi semata-semata untuk menggenapi kehendak Allah Bapa.

Saudara-saudara sekalian, ketulusan kerendahan hati kita tercermin ketika kita mampu bekerjasama dengan orang lain dalam rangka penggenapan panggilan pelayanan kita. Setidaknya inilah yang kita lihat dalam diri Yohanes. Dia bisa berelasi, berinteraksi dengan Yesus. Dia bisa menerima masukan. Dia bisa diingatkan. Dalam ay.15 Yesus menjawab Yohanes: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah. Dan Yohanes pun menurutiNya.”


Dalam hidup sehari-hari, sering kita mendengar orang berkata: Dia lebih pintar, lebih hebat, lebih mampu dari aku, biar dialah yang melakukannya, biar dia yang jadi pemimpin, biar dia yang di depan, biar dia yang berbicara, dsb.  Dan ketika kita mengatakannya, kita merasa sudah rendah hati. Benarkah kita rendah hati? Benarkah kita dengan tulus mengakui orang lain itu lebih dari kita? Saudara-saudara, bila tulus, bukan sekedar lip service, maka kita pasti mau bekerjasama dengannya. Tetapi yang sering terjadi adalah setelah pengakuan seseorang itu lebih dari kita, kita malah menghindar, tidak mau bekerja atau melayani lagi, tidak mau satu tim dengannya, tidak mau terlibat, merajuk, ngambek. Bila tulus, maka tetap akan membangun persahabatan dan kerjasama. Tidak menganggapnya menjadi saingan, ancaman, musuh. Tidak menjadi cuek, tidak perduli, mengucilkan diri. Kerendahan hati yang tulus mendorong orang lebih semangat menggenapkan/menunaikan tugas panggilannya.

Saudara-saudara sekalian, bicara tentang tugas panggilan, Yohanes adalah pelopor, perintis, yang mempersiapkan jalan untuk Tuhan. Dia harus berdiri paling depan dalam mengajak orang lain untuk bertobat. Yohanes menjadi alat untuk transformasi atau pembaharuan. Saya tidak tahu mengapa jemaat kita disebut dengan Jemaat Yohanes, tetapi kesamaan nama ini setidaknya mengingatkan kita semua bahwa sama seperti Yohanes, demikian juga setiap kita warga jemaat BNKP Yohanes dipanggil menjadi yang terdepan dalam membawa pembaharuan dan transformasi di tempat masing-masing.

     Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, baptisan yang dilakukan Yohanes adalah baptisan yang menyimbolkan pengampunan dosa, beda dengan baptisan bayi/anak yang kita lakukan sekarang yang maknanya adalah bahwa kita milik Allah.  Pertanyaannya adalah mengapa Yesus dibaptis? Apakah Yesus berdosa? Tidak. Yesus tidak berdosa. Tetapi melalui baptisannya ini Yesus ingin menyatakan bahwa Allah ingin bersama-sama dengan kita, umat yang sangat dikasihinya, di dalam segala pergumulan hidup kita, termasuk dalam pergumulan kita akan dosa-dosa kita. 

       Allah yang agung, kudus, mulia, mau menjadi sama seperti kita manusia. Tujuannya adalah agar Allah dapat merasakan apa yang kita rasakan. Allah yang menjadi sama seperti manusia inilah Allah yang kita sembah, yang kelahirannya kita rayakan dalam peristiwa natal. Allah yang kita percayai adalah Allah yang selalu berusaha mendekat, bahkan masuk dalam setiap pergumulan hidup kita, dan itulah makna baptisan Yesus. Dia bukan Allah yang berada jauh diatas sana, bukan Allah yang tidak terjangkau, tetapi Allah yang rela, yang bersedia, menjadi sama seperti manusia, sehingga dapat menolong dan menyelamatkan kita. 


       Menjadi sama adalah cara atau strategi Allah dalam menolong umat manusia. Allah menempatkan dirinya dalam posisi atau situasi kita, sehingga dia mengetahui pasti pergumulan hidup kita dan tahu cara yang tepat menolong kita. Inilah makna menjadi sama itu, dan itulah pesan yang ingin dinyatakan Yesus melalui baptisanNya.
                
         Demikian juga kita Bapak, ibu, saudara-saudara,  ketika kita ingin menolong orang lain, kita harus bersedia menjadi sama seperti mereka. Dalam menghadapi pertengkaran atau pertikaian dalam keluarga, mari kita menempatkan diri kita dalam perspektif suami/istri, berusaha dan bersedia menjadi sama, sehingga kita bisa memahami mereka lebih baik. Dalam mengajar disekolah, guru-guru harus belajar menjadi sama seperti muridnya, harus menempatkan dirinya di level anak didiknya, sehingga pelajaran itu bisa diterima dengan baik. Sebagai orang tua, kita harus bersedia menempatkan diri dalam posisi anak-anak kita, sehingga bisa memahami mereka dengan baik. 

        Ketika para pemimpin dan tokoh masyarakat merancang program untuk kesejahtraan masyarakat, terlebih dahulu berusaha menjadi sama dengan masyarakat, menempatkan diri dalam posisi masyarakat sehingga mengetahui persis apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi pergumulan mereka. Menjadi sama yang merupakan makna baptisan Yesus kiranya dapat juga meng-jiwai cara hidup kita setiap hari.


         Bapak, ibu, saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, kendati Yesus dibaptis, seperti kita juga dibaptis, tetapi ada yang berbeda. Perbedaan yang sangat menyolok adalah pada peristiwa setelah Yesus dibaptis tersebut. Ay. 16-17: “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari surga yang mengatakan: Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan.”  

          Bapak, Ibu, siapakah yang tidak takjub menyaksikan langit terbuka, menyaksikan Roh Allah turun, dan mendengar suara Allah? Tidak ada kejadian menakjubkan seperti ini dibaptisan siapapun, kecuali saat baptisan Yesus. Allah Bapa menegaskan kepada publik, kepada siapapun, bahwa Yesus adalah Anaknya, yang sangat Dia kasihi dan kepadaNyalah Dia berkenan. Pernyataan Allah Bapa ini juga diungkapkan dengan turunNya Roh Kudus dalam rupa burung merpati, hinggap kepada Yesus, Putera Allah. 


      Jadi dalam peristiwa pembaptisan Yesus, Allah Tritunggal hadir dalam satu kesatuan yang utuh. Inilah epifani itu. Pernyataan kemuliaan Allah, disaksikan oleh Yohanes, disaksikan oleh yang hadir pada saat itu, disaksikan oleh alam semesta. Kemuliaan dan keagungan Allah trinitas itu juga dinyatakan kepada kita hari ini, dinyatakan kepada setiap umat percaya. Setiap kita yang percaya kepada Allah dan melakukan kehendak Allah adalah anak-anak Allah (Galatia 3:26 Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus). 


         Allah juga berbicara kepada kita saat ini bahwa Dia sangat mengasihi kita. Kasih Allah inilah yang menjadi kekuatan kita dalam menjalani hari-hari kita di tahun yang baru ini. Dunia tempat kita berada selalu memberikan standar tertentu untuk dapat dikasihi. Kamu harus cantik atau ganteng, baru dapat dikasihi. Kamu harus punya prestasi, baru dapat dikasihi. Kamu harus punya jabatan/posisi/pekerjaan tertentu, baru dapat dikasihi. Kamu harus kaya, baru dapat dikasihi. Sehingga setiap hari kita selalu harus bergumul dan berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan perhatian. Tetapi kita dikasihi Allah, apa adanya diri kita. Kita tidak tahu apa yang terjadi hari esok, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di tahun 2017 ini tetapi kita tahu Allah mengasihi kita, dan karena itu Allah senantiasa menolong dan menopang. 


Tuhan memberkati. Amin.


Komentar